Cerita Dewasa Gadis Cantik Solo Begitu Seksi

 


Sebut saja nama saya Ratna umur saya masih 23 tahun dan saya merupakan seorang sarjana ekonomi, dan sesudah saya tamat berkuliah, saya bekerja di sebuah perusahaan keuangan yang berada di dekat daerah saya, yaitu Solo. Sebagai wanita, terus terang, saya juga tidak bisa dikatakan tidak menarik. Kulit tubuh saya putih bersih, tinggi 163 cm dan berat 49 kg. Sementara ukuran bra 34B. Cukup bahenol, kata rekan pria di kantor. Sementara, suami saya juga ganteng. Rio namanya. Umurnya tiga tahun di atas saya atau 26 tahun. Bergelar insinyur, ia bekerja di perusahaan jasa konstruksi. Rio orangnya pengertian dan sabar.

Karena sama-sama bekerja, pertemuan kami lebih banyak setelah berangkat atau sebelum berangkat kerja. Meski begitu, hari-hari kami lalui dengan baik-baik saja. Setiap akhir pekan–bila tidak ada kerja di luar kota–seringkali kami habiskan dengan makan malam di salah satu resto ternama di kota ini. Dan tidak jaang pula, kami menghabiskannya di sebuah villa di Tawangmangu.

Soal hubungan kami, terutama yang berkaitan dengan ‘malam-malam di ranjang’ juga tidak ada masalah yang berarti. Memang tidak setiap malam. Paling tidak dua kali seminggu, Rio menunaikan pernikahan sebagai suami. Hanya saja, karena suami saya itu sering pulang tengah malam, tentu saja tampak capek bila sudah berada di rumah. Bila sudah begitu, saya juga tidak mau terlalu senang. Juga soal ranjng tidur itu.

Bila Rio sudah berkata, “Kita tidur ya,” maka saya pun menganggukkan kepala meski saat itu mata saya masih belum. Akibatnya, tergolek di samping tubuh suami–yang tidak terlalu kekar itu-dengan mata yang masih nyalang itu, saya sering-entah mengapa-menghayal. Menghayalkan banyak hal. Tentang jabatan di kantor, tentang anak, tentang hari esok dan juga tentang ranjang.

Bila sudah sampai tentang tidur itu, sering pula saya membayangkan saya bergumulan habis-habisan di tempat tidur. Seperti cerita Ani atau Indah di kantor, yang setiap pagi selalu punya cerita menarik tentang apa yang mereka perbuat dengan suami mereka pada malamnya. Tapi sebenarnya itu adalah sebelum tidur yang menurut saya wajar-wajar saja. Dan saya juga tidak punya pikiran lebih dari itu. Dan mungkin pikiran seperti itu akan terus berjalan bila saja saya tidak bertemu dengan Karyo. Pria itu sehari-hari bekerja sebagai polisi dengan pangkat Briptu. Usianya mungkin sudah 50 tahun. Gemuk, perut buncit dan hitam.

Begini ceritanya saya bertemu dengan pria itu. Suatu malam sepulang makan malam di salah satu resto favorit kami, entah mengapa, mobil yang disopiri suami saya menabrak sebuah sepeda motor. Untung tidak terlalu parah betul. Pria yang membawa sepeda motor itu hanya mengalami benturan di siku tangan. Namun, pria itu marah-marah.

“Anda tidak melihat jalan atau bagaimana. Masak menabrak motor saya. Mana surat-surat mobil Anda? Saya ini polisi!” bentak pria berkulit hitam itu pada suami saya.

Mungkin karena merasa bersalah atau takut dengan gertakan pria yang mengaku sebagai polisi itu, suami saya segera menyerahkan surat kendaraan dan SIM-nya. Kemudian mencapai kesepakatan, suami saya akan memperbaiki semua kerusakan motor itu keesokan harinya. Sementara motor itu dititipkan di sebuah bengkel. Pria itu sepertinya masih marah. Ketika Rio menawari untuk mengantar ke rumahnya, ia menolak. “Tidak usah. Saya pakai becak saja,” katanya.

Esoknya, Rio sengaja pulang kerja cepat. Setelah bertemu saya di kantor, kami pun pergi ke rumah pria gemuk itu. Rumah pria yang kemudian kami ketahui bernama Karyo itu, berada pada sebuah gang kecil yang tidak memungkinkan mobil Opel Blazer suami saya masuk. Terpaksalah kami berjalan dan menitipkan mobil di pinggir jalan. Rumah kontrakan Pak Karyo hanyalah rumah papan. Kecil. Di ruang tamu, kursinya sudah banyak terkelupas, sementara kertas dan koran berserakan di lantai yang tidak menggunakan karpet.

“Ya beginilah rumah saya. Saya sendiri tinggal di sini. Jadi, jangan ada yang membersihkan,” kata Karyo yang hanya pakai singlet dan kain sarung.

Setelah berbasa dan minta maaf, Rio mengatakan kalau sepeda motor Pak Karyo sudah diserahkan anak buahnya ke salah satu bengkel besar. Dan akan siap dalam dua atau tiga hari mendatang. Sepanjang Rio bercerita, Pak Karyo tampak cuek saja. Ia menaikkan satu kaki ke atas kursi. ingin ia menyeruput secangkir kopi yang ada di atas meja. “Oh begitu ya. Tidak masalah,” katanya.

Saya tahu, beberapa kali ia melirikkan ke mata saya yang duduk di sebelah kiri. Tapi saya pura-pura tidak tahu. Memandang Pak Karyo, saya bergidik juga. Badannya besar meski ia juga tidak terlalu tinggi. Lengan tangan tampak kokoh berisi. Sementara itu yang hitam membusung. Dari balik kaosnya yang sudah kusam itu tampak tampak yang administrator. Jari tangan seperti besi yang bengkok-bengkok, kasar.

BONUS NEW MEMBER 100% TO X5 ( SLOT )

Karyo kemudian bercerita kalau sudah berumur panjang dan tiga tahun lagi akan pensiun. Sudah hampir tujuh tahun bercerai dengan istrinya. Dua orang anaknya sudah berumah tangga, sedangkan yang bungsu sekolah di Bandung. Ia tidak bercerita mengapa pisah dengan istrinya.

Pertemuan kedua, di kantor polisi. Setelah beberapa hari sebelumnya saya habis ditodong saat berhenti di sebuah perempatan lampu merah, saya diminta datang ke kantor polisi. Saya kemudian diberi tahu anggota polisi kalau penodong saya sudah tertangkap, tetapi barang-barang berharga dan HP saya sudah tidak ada lagi. Sudah dijual si penodong.

Saat mau pulang, saya hampir bertabrakan dengan Pak Karyo di koridor kantor Polsek itu. Tiba-tiba saja ada orang di depan saya. Saya pun kaget dan berusaha mengelak. Karena buru-buru saya menginjak pinggiran jalan beton dan terpeleset. Pria yang kemudian saya ketahui Pak Karyo itu segera menyambar lengan saya. Akibatnya, tubuh saya yang hampir jatuh, terpuruk dalam pagutan Pak Karyo. Saya merasa berada dalam dekapan tubuh yang kuat dan besar. Dada saya terasa lengket dengan penyerangan. Saat saya merasakan getaran itu. Tapi tak lama.

“Makanya, itu hati-hati. Bisa-bisa jatuh jatuh got itu,” sambil melepaskan saya dari pelukannya. Saya hanya bisa tersenyum masam sambil bilang terimakasih.

Ketika Pak Karyo kemudian menawari minum di kantin, saya pun tidak punya alasan untuk menolaknya. Sambil minum ia bercerita banyak. Tentang motornya yang sudah baik, about istri yang minta cerai, tentang dirinya yang disebut orang-orang suka menanggu istri orang. Saya hanya diam mendengarkan ceritanya.

Mungkin karena sering kali bertemu dan ia pun punya keberanian, Pak Karyo itu malah sering datang ke rumah. Datang hanya untuk bercerita. Atau menanyai soal rumah kami yang tidak punya penjagaan. Atau tentang hal lain yang semua itu, saya rasakan, hanya sekesar untuk bisa bertemu dekat dengan saya. Tapi semua itu setahu suami saya lho. Bahkan tidak jarang pula Rio terlibat dalam permainan catur yang mengasyikkan dengan Pak Karyo bila ia datang pas ada Rio di rumah.

Ketika suatu kali, suami saya ke Jakarta karena ada urusan pekerjaan, Pak Karyo malah menawarkan diri untuk menjaga rumah. Rio, yang paling tidak selamat dari sepakan di Jakarta, tentu saja senang dengan tawaran itu. Dan saya pun merasa tidak punya alasan untuk menolak.

Meski sedikit kasar, tapi Pak Karyo itu suka sekali bercerita dan juga nanya-nanya. Dan karena kemudian menganggapnya sebagai keluarga sendiri, saya pun tidak akan menyanyikannya untuk bercerita dengannya. Apalagi, keluarga saya tidak ada yang berada di Solo. Sekali waktu, saya keceplosan. Saya ceritakan tentang desakan ibu mertua agar saya segera punya anak. Dan ini mendapat perhatian besar Pak Karyo. Ia antusias sekali. matanya tampak berkilau.

“Oh ya. Ah, kalau itu mungkin saya bisa bantu,” katanya. Ia semakin mendekat.

“Bagaimana caranya?” tanya saya bingung.

“Mudah-mudahan saya bisa bantu. Datanglah ke rumah. Saya beri obat dan sedikit diurut,” kata Pak Karyo pula.

Dengan pikiran lurus, setelah sebelumnya saya memberitahu Rio, saya pun pergi ke rumah Pak Karyo. Sore hari saya datang. Saat saya datang, ia juga masih pakai kain sarung dan singlet.

Saya melihat matanya berkilat. Pak Karyo kemudian mengatakan bahwa pengobatan yang didapatkan melaluinya, dilakukan dengan pemijatan di bagian perut. Paling tidak tujuh kali pemijatan, katanya. Setelah itu baru diberi obat. Saya hanya diam.

“Sekarang kita mulai pengobatannya,” ujarnya seraya membawa saya masuk kamarnya. Kamarnya kecil dan pengap. Jendela kecil di samping ranjang tidak terbuka. Sementara ranjang kayu hanya beralaskan kasur yang sudah menipis. Pak Karyo kemudian memberikan kain sarung. Ia menyuruh saya untuk membuka kulot biru tua yang saya pakai. Risih juga membuka pakaian di depan pria tua itu.

“Gantilah,” katanya ketika melihat saya masih bengong.

Inilah pertama kali saya ganti pakaian di dekat pria yang bukan suami saya. Di atas ranjang kayu itu saya masalah masalah.

“Maaf ya,” katanya ketika mulai menekan perut saya.

Terasa sekali jari-jari tangan yang kasar dan keras itu di perut saya. Ia menyibak bagian bawah baju. jari tangannya menari-nari di seputar perut saya. dekatkan jari ke arah tepian lipatan paha saya. Saya melihat gerakannya dengan nafas terputus. Saya merasa bersalah dengan Rio.

“Ini bisa dilepas saja,” katanya sambil menarik CD saya. Ups! Saya kaget.

“Ya, mengganggu kalau tidak dilepas,” katanya pula.

Tanpa menunggu persetujuan saya, Par Karyo menggeser bagian atasnya. Saya merasakan bulu-bulu vagina saya tertarik menggunakannya. CD saya pun berkembang. Meski ingin menolak, tapi suara saya tidak keluar. Tangan saya pun terasa berat untuk menahan tangannya.

Tanpa bicara, Pak Karyo kembali melanjutkan pijatannya. Jari tangan yang kasar kembali bergerilya di bagian perut. Kedua paha saya yang masih dipisahkan. Tangannya kemudian pemijatan daerah sensitif saya. Tangan itu bolak balik di sana. dekat tangan kasar itu menyentuh daerah klitoris saya. Saya rasa ada getaran yang menghentak-hentak. Dari mulut saya yang tertutup, terdengar hembusan nafas yang berat, Pak Karyo semakin bersemangat.

“Ada yang tidak beres di bagian peranakan kamu,” katanya.

Satu-satunya berada di perut, sementara yang lainnya mengusap gundukan yang ditumbuhi sedikit bulu. Tangannya berputar-putar di selangkang saya itu. Saya merasakan ada kenikmatan di sana. Saya merasakan bibir vagina saya pun sudah basah. Kepala saya miring ke kiri dan ke kanan menahan gejolak yang tidak terputuskan.

Tangan kanan Pak Karyo makin berani. Jari-jari mulai memasuki pinggir liang vagina saya.

Ia mengocok-ngocok. Kaki saya menerjang menahan gairah yang melanda. Tangan saya yang mencoba untuk menahan tangan yang dibawanya untuk meremas payudara saya. Meski tidak membuka BH, namun tetap mampu melakukannya membuat panyudara saya mengeras. Uh, saya tidak tahu kalau kain sarung yang saya pakai sudah menyebar hingga ujung kaki. CD juga sudah tanggal. Yang saya tahu hanya lidah Pak Karyo sudah menjilati selangkang saya yang sudah membanjiri. suara kecipak becek yang diselingi nafas memburu Pak Karyo.

Ini permainan yang baru yang pertama kali saya rasaran. Rio, suami saya, bahkan tidak pernah menyentuh daerah pribadiku dengan mulutnya. Tapi, jilatan Pak Karyo benar-benar membuat saya turun naik. Kaki saya yang menerjang kemudian digumulnya dengan kuat, lalu dibawanya ke atas. Sementara dia kasih terbenam di selangkangan saya.

Benar-benar sensasi yang sangat mengasyikan. Dan saya pun tidak sadar jika kemudian, tubuh saya mengeraskan, mengejang, lalu ada yang panas mengalir di vagina saya. Aduh, saya orgasme! Tubuh saya melemas, tulang-tulang ini terlepas terlepas. Saya melihat Pak Karyo menjilati rembesan yang mengalir dari vagina. Lalu ditelannya. Bibirnya belepotan air kenikmatan itu. Singletnya pun basah oleh keringat. Saya memejamkan mata, sambil meredakan nafas. Sungguh permainan yang belum pernah saya alami. Pak Karyo naik ke atas ranjang.

“Kita lanjutkan,” katanya.

Saya mengakuinya telungkup. Tangannya kembali merabai punggung saya. Mulai dari pundah. Lalu terus ke bagian pinggang. Dan ketika tangan itu berada di atas pantat saya, Pak Karyo mulai melenguh. Jari tangan untuk turun naik di antara anus dan vagina. Berjalan dengan lambat. Ketika pas di lubang anus, jarinya berhenti dengan sedikit menekan. Wah, sangat mengasyikan. Tulang-tulang terasa mengejang. Terus terang, saya menikmatinya dengan mata terpejam.

DEPOSIT 50.000 JADI 100.000 TO X5

Bila kemudian, terasa benda bulat hangat yang menusuk-nusuk di antara lipatan pantat, saya hanya bisa melenguh. Itu yang saya tunggu-tunggu. Saya merasakan benda itu sangat keras. Benar. Saat saya membalik, saya melihat kontol Pak Karyo itu. Besar dan hitam. Tampak jelas urat-uratnya. Bulunya pun menghitam lebat.

Mulut saya sampai ternganga ketika ujung kontol Pak Karyo mulai menyentuh bibir vagina saya. perlahan ujungnya masuk. Terasa sempit di vagina saya. Pak Karyo pun menekan dengan perlahan. Ia mengoyangnya. Bibir vagina saya seperti ikut bergoyang keluar masuk mengikuti goyangan kontol Pak Karyo. Hampir sepuluh menit Pak Karyo asik dengan goyangannya. Saya pun meladeni dengan goyangan. Tubuh kami yang sudah sama-sama basah dengan keringat. Kuat juga stamina Pak Karyo. Belum tampak tanda-tanda itunya akan ‘menembak’.

Padahal, saya sudah merasakan ujung vagina saya memanas. Tubuh saya mengejang. Dengan sedikit sentakan, maka muncratlah. Berkali-kali. Orgasme yang kedua ini benar-benar terasa memabukkan. Liang vagina saya semakin membanjiri. Tubuh saya kehilangan tenaga. Saya terkapar.

Saya hanya bisa diam saja ketika Pak Karyo masih menggoyang. Beberapa saat kemudian, baru itu sampai di puncaknya. Ia menghentak dengan kuat. Kakinya menegang. Dengan semakin menekan, ia pun memuntahkan seluruh spermanya di dalam vagina saya. Saya tidak kuasa menolaknya. Tubuh besar hitam itu pun ambruk di atas tubuh saya. Luar biasa permainan polisi yang hampir pensiun itu. Apalagi dibandingkan dengan permainan Rio.

Penis Adik Ipar Yang Ku Sedot

Sejak saat itu, saya pun ketagihan dengan permainan Pak Karyo. Kami masih sering melakukannya. Kalau tidak di rumahnya, kami juga nginap di Tawangmangu. Meski, kemudian Pak Karyo juga sering minta duit, saya tidak merasa membeli kepuasan syahwat kepadanya. Semua itu saya lakukan, tanpa setahu Rio. Dan saya yakin Rio juga tidak tahu samasekali. Saya merasa berdosa terhadapnya. Tapi, entah mengapa, saya juga butuh belaian keras Pak Karyo itu. Entah sampai kapan.

Post a Comment

Previous Post Next Post